Gara-Gara Drakor, Saya Gak Betah Nonton Drama yang Alurnya Lambat




Dulu sekali waktu internet belum mudah diakses dan hiburan sebagian besar ada di televisi, saya cukup sering ikut menonton sinetron kesukaan ibu, atau menonton Bollywood bersama kakak perempuan saya. Saat itu hiburan di televisi memang menjadi rutinitas selepas pulang sekolah selain bermain bersama teman-teman.

Televisi yang jumlahnya hanya ada satu ꟷsedangkan keluarga kami terdiri dari 5 anggotaꟷ membuat kami harus bergantian menonton acara kesukaan. Saya yang hanya bisa menonton kartun di siang hari tentu harus pasrah saat televisi menyajikan drama pada malam harinya. Yang alurnya sendiri tak begitu saya pahami, namun tetap ikut menyaksikan.

Sinetron yang saat itu tayang mungkin bisa terdiri dari ratusan episode (atau bahkan ribuan?) dan saya merasa hal itu baik-baik saja. Saat ada adegan lucu, kami tertawa bersama. Saat ibu marah karena adegan menyebalkan di TV, terkadang saya kaget. Tidak berani menegur, namun sesekali melirik karena rasanya lucu melihat beliau marah pada tokoh fiktif yang tak nyata.

Saat itu mungkin sudah muncul Drama Korea, namun saya pribadi hampir tak pernah menontonnya.


Perkenalan pertama dengan Drama Korea

Kesukaan saya pada Drama Korea dimulai dari munculnya drama yang berjudul Boys Before Flower. Diawali rasa ketertarikan pada paras aktornya yang sungguh menawan, saya yang beranjak remaja tentu tak ingin melewatkan satu haripun menonton drama tersebut. Drama Korea menjadi salah satu tontonan wajib bagi saya kala itu.

Tak lama setelahnya, beragam drama lainnya ikut hadir meramaikan televisi. Cerita yang berbeda-beda, ditambah para aktor dan aktris yang luar biasa cantik dan tampan membuat saya tak bisa berhenti menontonnya. Satu demi satu drama saya tonton, tentunya di luar jam belajar.


Akses menonton Drama Korea menjadi semakin mudah

Memasuki masa kuliah, akses menonton drama semakin mudah didapatkan. Walau belum ramai layanan streaming seperti Netflix, VIU, dan semacamnya, saya dan teman-teman masih bisa  menontonnya dari situs ilegal, yang belakangan saya sadari sangat salah dan tak bermoral.

Saat itu bisa dibilang kami saling berbagi file drama. Satu drama biasanya terdiri dari beberapa belas episode, yang biasanya rampung ditonton dalam waktu singkat. Saya semakin dibuat paham dengan apa itu kualitas cerita. Yang jelas terasa sangat berbeda dengan sinetron yang biasanya memiliki konflik tak berkesudahan. Tukang bubur sudah naik haji saja ceritanya masih berlanjut dan tak ada tanda-tanda akan tamat.

Berbanding terbalik dengan sinetron, Drama Korea terasa kian menarik. Alur padat, konflik yang jelas, bahkan adegan yang tak terkesan lebay membuat minat saya pada sinetron semakin menghilang. Dan bisa dibilang saya mulai berhenti menontonnya.


Kebiasaan mulai mengubah preferensi tontonan

Kebiasaan menonton drama dengan durasi singkat membuat saya lebih suka dengan alur yang padat dan tak bertele-tele. Hingga belakangan saya mulai menyadari perbedaan rasa pada saat menonton drama yang memiliki alur lambat.

Bukannya tak menarik, hanya saja terasa tak ringkas dan membosankan. Saya mulai pilih-pilih bahkan saat menonton drama yang ramai dibicarakan. Bila jumlahnya di atas 20 episode, maka saya akan mencari drama lain, tak peduli drama tersebut sedang booming atau dibintangi oleh aktor terkenal.

Drama dengan alur cepat menjadi salah satu keharusan saat memilih tontonan. Itupun terkadang berhenti di tengah jalan, lagi-lagi karena alurnya yang dirasa lambat. Saya lebih memilih mencari drama lain yang lebih ringkas.


Saat Dracin juga gagal memikat

Rupanya kebiasaan saat kuliah masih saja terasa begitu mulai bekerja. Meski pernah berhenti menonton cukup lama karena kesibukan, saya yang mulai bisa mengatur waktu lagi-lagi masih pemilih dalam hal menonton drama. Dracin atau Drama China misalnya, walau sedang ramai beberapa tahun belakangan, saya lebih memilih melewatkannya hanya karena memiliki banyak episode.

Dan benar saja, pernah sekali saya penasaran dengan satu dracin yang cuplikannya sering muncul di media sosial. Penasaran, mulailah saya menontonnya di salah satu situs berbayar. Jumlah episodenya tak banyak, hanya 32 episode. Namun sesuai dugaan, lagi-lagi saya mulai merasa bosan karena alurnya yang lambat.

Saya mulai berpikir, apakah ini efek dari seringnya menonton drakor dengan episode singkat? Entahlah. Saya sendiri pernah bertanya pada beberapa teman, yang rupanya mengalami hal serupa.

Sebagian berpikir mungkin akibat sering menonton short video yang belakangan ramai di semua media sosial. Namun bila diingat, saya bahkan memiliki kecenderungan ini jauh sebelum ramainya video singkat tersebut. 

Apakah kamu juga mengalami hal yang sama?

Posting Komentar

0 Komentar