Potret Budaya Patriarki di Sekitar Kita



"Anak perempuan kok bangun siang?"

"Nyuci sendiri, lah! Kamu kan perempuan?"

Kamu pasti pernah mendengar kata-kata tersebut, bukan? komentar semacam ini adalah bagian dari budaya yang menganggap pekerjaan rumah hanya tanggung jawab perempuan. Seolah laki-laki tak perlu menyentuh piring kotor, sapu, atau setrika, karena "itu bukan tugas mereka."

Hak-hak perempuan yang seolah dipinggirkan. Digantikan dengan kewajiban mengalah demi anggota keluarga laki-laki berhasil dalam kehidupannya.

Budaya patriarki tanpa sadar seolah menjadi norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Seolah ada aturan tak tertulis di mana laki-laki berada di puncak piramida tertinggi, sedang perempuan harus terus mendorong dari bawah agar puncak itu tetap tinggi.


Budaya patriarki di Indonesia: mengakar dari dari banyak arah

Di Indonesia sendiri, patriarki hidup dan tumbuh dari berbagai sumber. Mulai dari agama, adat istiadat, serta kebiasaan yang terjadi di masyarakat.

Aturan yang melekat di masyarakat seperti perempuan adalah penerima nafkah sedangkan laki-laki adalah pencari nafkah bisa jadi juga menjadi penyebab budaya patriarki akan terus melekat dan tak akan terpisahkan dalam kehidupan.

Polanya terus diwariskan: anak perempuan diajari melayani, anak laki-laki diajari memimpin. Lama-lama, tanpa disadari, laki-laki ditempatkan di posisi istimewa, dan itu bisa menciptakan relasi yang tidak seimbang, bahkan membuka celah kekerasan berbasis gender.


Tak ada yang salah dari laki-laki yang menjadi kepala keluarga, tapi..

Tapi tak bisa sepenuhnya melepas tanggung jawab. Tugas kepala keluarga adalah membina serta melindungi seluruh anggota keluarganya. Tak hanya serta merta menjadi pencari rezeki di luar, lantas pulang dan menjadi bak seorang bangsawan.

Semua penghuni rumah memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, terutama dalam hal domestik. Tak ada yang tabu dalam hal membagi peran- dan sesekali saling membantu. Tak ada pula salahnya bagi seorang perempuan untuk bisa menjadi dirinya sendiri dan memiliki kesempatan di luar. Semua bisa dilakukan asal bisa saling mendukung.


Jadi, apakah budaya patriarki benar-benar bisa menghilang?

Mungkin pertanyaannya sedikit keliru. bukan bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak. 

Patriarki tidak tumbuh begitu saja. Sebagaimana pohon yang terus tumbuh apabila terus disiram dan dirawat dengan baik, budaya patriarki juga membutuhkan pemicu untuk tetap bisa bertahan. Hentikan menyiramnya, maka ia akan layu dan menghilang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar